Minggu, Desember 02, 2007

THE REAL TJAMPOLAY!!

Akhirnya setelah mencari-cari dan menduga apa itu Tjampolay?
kami mendapatkan hasilnya..







ini adalah gambar buah tjampolay (campoleh)
bukan seperti yang diduga sebelumnya.. dapat disimpulkan kalau si
illustrator menggambarnya kurang jelas. sehingga membingungkan kami yang orang awam,
apalagi dengan teknik 1 warna yang dia pakai untuk layout gambarnya. bila dibandingkan dengan gambar buah aslinya.. sangat berbeda jauh.

buah tjampolay biasa ditemukan di daerah Cigugur, bandung. bentuk sekilas mirip mangga atau alpukat namun bertekstur seperti ubi kukus, namun dengan warna orange.
dan memiliki kulit yang licin dan mengkilat seperti markisa.
lebih dikenal dengan nama buah jigong, karena bila dimakan akan menempel di gigi.

Pendekar-pendekar Komik Tionghua

mengapa kami memposting cerita yang sepertinya tidak ada kaitannya dengan isi blog,
sebenarnya yang mau kami tampilkan adalah mengenai kehebatan ilustrator indonesia.
yang bertujuan memperkaya khasanah budaya Indonesia



Medio 1960 – Medio 1980
SALAH satu bentuk kesenian moderen adalah komik alias cergam (cerita bergambar). Sayang sekali sekarang komik Indonesia mengalami ‘mati suri’, belum lahir lagi komikus-komikus seperti pada 25 tahun silam. Lihat di toko buku-toko buku, rak-rak dipenuhi manga (komik Jepang), terjemahan komik Mandarin (Hong Kong-Singapura) serta alihbasa komik superhero Amerika.
Aku sendiri adalah penikmat komik sejak usia tiga tahun. Sempat mengenyam masa keemasan komik Indonesia pada era medio tahun 1960-an sampai dengan medio 1980-an.


Pada masa itu, tersohor nama Lima Pendekar Komik Nomor Satu dari ibukota. Mereka adalah lima serangkai: Ganes Th., Jan, Zaldy, Sim dan Hans. Tahukah Anda kalau empat dari lima besar itu adalah etnis Tionghoa? Hanya Jan satu-satunya yang bukan. Sebenarnya ia berasal dari Jogjakarta, hanya kemudian hijrah dan angkat nama di Jakarta.
Lima sahabatku itu sekarang empat di antaranya telah almarhum - semoga mereka semua diterima di sisiNya sesuai amal ibadah masing-masing – tersisa satu-satunya yang masih sehat walafiat, Hans.
Tulisan ini sekilas kenangan untuk mereka.
GANES TH.



Legenda dunia komik Indonesia dengan karya legendarisnya, Si Buta dari Goa Hantu. Menurutnya, bukan menjiplak film Zato Ichi, si pendekar pemijat buta dari Jepang, melainkan dari film koboi buta Italia yang dibintangi Cameron Mitchell, The Blind Gunfighter.
Sebagian besar karyanya berlatar belakang Betawi tempo doeloe seperti: Tuan Tanah Kedawung, Jampang, Taufan, dan Reo Anak Serigala (murid si Buta).
Ganes bukan cuma berkiprah di dunia komik tapi juga menerobos dunia film dengan menulis skenario merangkap penata kostum. Hampir semua komiknya telah difilmkan. Bahkan sebelum tutup usia masih mendukung pembuatan serial sinetron Si Buta dari Goa Hantu dan Reo Anak Serigala untuk teve.
JAN
Komikus yang paling western style. Memakai nama lengkap Jan Mintaraga. Coretannya selevel komikus-komikus kelas satu Amerika. Karya monumentalnya, Sebuah Noda Hitam. Hakekatnya lebih tepat disebut Novel-Komik karena kebagusan cerita dan coretannya.
Ketika komik roman menyurut, beralih bikin komik silat (pada dasarnya Jan adalah penggemar berat cersilnya Chin Yung) seperti Pendekar Kelelawar dan serial superhero Halilintar.
Menjelang meninggal masih bekerja di Dunia Fantasi, Ancol, memimpin pelukisan wahana Rama dan Shinta era futuristic.
ZALDY



Lengkapnya memakai nama Zaldy Armendaris. Coretannya sangat disukai muda-mudi zamannya karena gambar cowonya ganteng-ganteng dan cewenya cantik-cantik. Kebetulan abang kandungnya, Hadi Purwanta, adalah seorang penerbit.
Komiknya, Setitik Air Mata Buat Peter difilmkan Rapi Film (produksi perdananya) dengan judul Air Mata Kekasih (1971) yang dibintangi pasangan Suzzanna-Budi Schwarzkrone.
Sampai akhir hayat tetap membujang, tak pernah menikah, kemungkinan karena pernah mengalami patah hati di masa remajanya (?!).
SIM
Sim adalah she (marga) dari komikus bernama Sim Kim Toh ini. Ganti nama jadi Simon Iskandar. Pernah menjadi guru menggambar di SMA kawasan Kebun Jeruk, Mangga Besar, sebelum bikin komik-komik samurai Jepang (pengaruh Akira Kurosawa?!). Kemudian beralih jadi komikus spesialis roman remaja.
Karyanya paling terkenal, Buku Harian Monita, diangkat dari film drama Hong Kong laris. Kiblatnya memang pada film-film Mandarin, tak heran kalau gambar tokoh-tokohnya mirip profil Lily Ho, Li Ching, Ching Li dan Ling Yun (bintang-bintang top Shaw Brothers era 1970-an).
Setelah masa keemasan komik memudar beralih menjadi illustrator untuk sejumlah majalah dan wartawan film sampai tarikan nafas terakhirnya. Meninggalkan isterinya dengan seorang puteri dan dua putera.
HANS
Menuliskan nama lengkapnya Hans Djaladara. Komik silat monumentalnya, Pandji Tengkorak. Berlanjut ke Walet Merah dan Si Rase Terbang. Terus terang kisah Pandu Wilantara alias pendekar Pandji Tengkorak menurutku diilhami cersilnya Liang Yu-hen, Perjodohan Busur Kumala (tokohnya si pendekar gembel Kim Si-ih), dipadukan dengan Django-nya Franco Nero (koboi spaghetti Italia) yang berkelana sambil menyeret peti mati istrinya.
Ketika kejayaan komik menyurut, Hans memboyong keluarganya meninggalkan Jakarta untuk mukim di Kebumen, Jawa Tengah. Baru belakangan kembali ke Jakarta.
Menurutku coretannya lebih indah dibanding karya Tony Wong (komikus Hong Kong yang kondang lewat serial Tiger Wong) atau Wee Tian Beng (komikus Singapura).
Sampai tiga kali merevisi komik legendarisnya, Panji Tengkorak, namun sulit mengembalikan kejayaan masa mudanya. Sekarang Hans menjadi pelukis kanvas, antara karyanya yang apik adalah lukisan Pasar Pisang.

Selain Lima Besar di atas, dari Jakarta masih bisa ditambahkan nama-nama:
Leo (alias Oen Tiong Ho yang kemudian ganti nama jadi Untung Purwono) dengan komik-komik lucunya seperti Dul Cepot, Tong Gembrot dll.
Tony Gamelia (epigon Zaldy yang kelak justru melukis lebih bagus), Djoni Andrean, Fashen, Anda Suhendra, Man (Mansyur Daman), Jeffry, Riy, dan Floren.
Dari Bandung: Gerdi WK, U. Sjahbudin (serial Pendekar Bambu Kuning), Har (Harnaeni Hamdan) dan Bram (Bramantyo) (serial Laba-Laba Merah).
Semarang: Indri Soedono (Dagelan Petruk-Gareng)
Jogjakarta: Wid NS (serial Godam) dan HASMI (serial Gundala cs).
Cirebon: Djair Warni (serial Jaka Sembung)
Tegal: Rio Purbaya
Purwokerto: Budiyanto (Angling Darma)
Surabaya: Teguh Santosa (serial Sandhora, Mat Pelor, Mat Romeo)
Sebelumnya dari Medan ada nama-nama besar: Zam Nuldyn (setelah pencerahannya patut dinobatkan sebagai Empu Komik yang sejajar dengan komikus-komikus klasik dari China zaman dulu. Lihat karya-karyanya yang menakjubkan seperti: Kecak Mandai, Paluh Hantu dan Dewi Krakatau), Taguan Hardjo, Bazar Sy. dan Djas.

Era 1930 – 1960
SEPERTI fakta yang kutulis dalam naskah pertama, hakekatnya sebagian terbesar seniman-seniman komik Indonesia adalah etnis Tionghoa.
Aku sepakat saja kalau kemudian R.A. Kosasih dari Bandung dinobatkan sebagai Bapak Komik Indonesia. Karya monumentalnya, Maha Bharata (40 jilid) dan Ramayana (10), memang merupakan sepasang komik wayang terbaik sepanjang masa.
Namun jauh sebelum beliau mengirimkan naskah komiknya ke penerbit Melody, Bandung, bahkan sebelum Republik Indonesia lahir (pada 17 Agustus 1945) sebenarnya sudah ada komikus-komikus Tionghoa yang melukis dan membubuhkan teks dalam bahasa Indonesia-Melayu. Tercatat dalam sejarah perkomikan, strip si Put On karya Kho Wang Gie diperkenalkan sejak awal tahun 1931 lewat halaman bawah depan koran Sin Po (hematku Kompas adalah re-inkarnasi Keng Po sedangkan Suara Pembaruan adalah titisan Sin Po).
Nama-nama legendaris pelukis komik yang berkiprah dalam kurun waktu 1930 sampai dengan 1960-an selain Kho adalah Siauw Tik Kwie, Lie Ay Poen, Kwik Ing Hoo, John Lo dan Kong Ong.
Inilah sekilas mengenai para locianpwee, sesepuh pendekar komik jadul itu:
KHO WANG GIE
Beliau mengawali dunia komik Indonesia dengan si Put On, lelaki Tionghoa gemuk bujang tua yang selalu gagal dalam masalah asmara. Tinggal bersama ibunya yang dipanggil Ne, dan dua adiknya; si Tong dan si Peng. Sedangkan sobat karibnya, A Liuk dan A Kong. Nona pujaannya, si Dortji. Dimuat saban Kamis di harian Sin Po, kemudian juga di majalah Pantja Warna yang terbit bulanan.
Menurut beliau, “Put On sebenarnya bukan nama China, melainkan nama permainan sejenis dam-daman dari bahasa Inggris.” Tak jadi soal karena kemudian si Put On yang awet membujang itu malah menjadi jauh lebih ngetop ketimbang pelukisnya.
Di usia tua, Oom Kho ganti nama jadi Sopoiku, kadang juga Soponyono. Terus membuat komik strip si Pengky di halaman belakang majalah Ria Film selama belasan tahun. Juga menerbitkan komik-komik lucu yang menjadi spesialisasinya seperti Nona A Go Go, Jali Tokcer, Si Lemot dan Agen Rahasia Bolong Jilu (013).
Beruntung aku sempat berkenalan dengan komikus veteran yang kukagumi sejak anak-anak ini. Beliau meninggal dalam usia tua di rumahnya yang asri di kawasan Kebun Jeruk, Mangga Besar, Jakarta Kota.
SIAUW TIK KWIE
Komikus besar dengan coretan berdasarkan wayang potehi. Dwilogi karyanya yang monumental, Sie Djin Koei Tjeng Tang (Sie Jin Kui Menyerbu ke Timur) dan Sie Djin Koei Tjeng See (Sie Jin Kui Menyerbu ke Barat), semula dimuat seminggu sekali di majalah Star Weekly.
Oom Siauw memang bekerja sebagai illustrator cerpen, cersil, dan cerdek, di majalah tersebut. Selain itu juga melukis sampul buku-buku cersil yang diterjemahkan oleh OKT seperti Kim Tjoa Kiam, Tjie Hong Piauw, Giok Lo Sat dan Pek Hoat Mo Lie. Ciri khas lukisannya, tokoh pendekar prianya gagah keren, pendekar wanitanya cantik galak.
Ada rencana melanjutkan dengan serial Hong Kiauw - Lie Tan (Kisah Sie Kong, cucu Sie Jin Kui), malangnya majalah Star Weekly (entah karena apa) mendadak dibreidel (!). Belakangan Oom Siauw memakai nama Otto Swastika dan menjadi pelukis kanvas sampai meninggal.
LIE AY POEN
Kalau Oom Siauw melukis untuk Star Weekly maka di majalah Pantja Warna ada Oom Lie dengan komik serial silatnya, Poei Sie Giok Pukul Loeitay.
Cerita silat terkenal itu kelak berulang kali difilmkan dengan bintang-bintang terkemuka. Antara lain yang pernah memeraninya adalah Meng Fei, Alexander Fu Shen, sampai ke Jet Li, sebagai Fang Si Yu atau bacanya Fang Se Ie (lafal Kuo Yu untuk Pui Sie Giok dalam dialek Hokkian).
Lanjutannya, Runtuhnya Kuil Siauw Liem Sie, terpaksa dihentikan di tengah jalan karena Pantja Warna pun distop penerbitannya oleh pemerintah!
KWIK ING HOO
Komiknya yang melegenda, Wiro Anak Rimba Indonesia, merupakan versi Tarzan asli Indonesia. Terdiri dari 10 jilid, merentang petualangan panjang seorang pemuda praremaja yang menjelajah ke hutan rimba dari Jawa ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, sampai Irian. Bersama kera, gorila, harimau dan gajahnya. Mengikuti ekspedisi flora dan fauna Dr Watson dengan kapalnya. Ketika dalam klimaks bentrok dengan sisa pasukan Dai Nippon di pedalaman Papua, satu-persatu keempat binatangnya mati terbunuh, rasanya anak-anak penggemarnya se-Indonesia menangis semua (termasuk aku tentu saja!). Sungguh sebuah komik yang takkan terlupakan bagi siapa pun yang pernah membacanya.
Kemudian dengan inisial KIH, beliau melukis sampul-sampul dan illustrasi dalam novel dan cersil terbitan Analisa, Jakarta. Beliau sendiri mukim di Solo, Jawa Tengah. Dalam usia tua beralih melukis kanvas, seperti Lee Man Fong, gemar melukis sekawanan ikan koki …
JOHN LO
Dari Bandung, segenerasi dengan R.A. Kosasih, tampil komikus Tionghoa ini. Boleh dibilang sebagai yang pertama memperkenalkan pahlawan super asli Indonesia, yakni Garuda Putih dan Putri Bintang. Tak jarang pula dua tokohnya bekerja sama dengan superheroine-nya Kosasih, Sri Asih.
Oom John pernah pula bikin komik wayang, Raden Palasara, serta komik silat China, Pendekar Piatu.
KONG ONG
Tak banyak yang kuketahui mengenai komikus asal Sumatera Utara ini. Komiknya, keluaran penerbit Casso, Medan, berjudul, Kapten Komet (1955). Cerita bersetting masa depan (pada waktu dibuat) ketika astronot Indonesia dengan roketnya telah mampu menjelajah ke planet Saturnus. Jelas diilhami dari komik Barat terkenal, Flash Gordon.
GOEI KWAT SIONG
Nama kartunis itu Goei Kwat Siong, dulu guru sekolah Tionghoa di Pekalongan. Terkena stroke di sekitar tahun 1967 dan meninggal di tahun 1975 dalam usia 56 tahun. Dari kedua anaknya, satu laki dan satu prempuan, tidak ada yang meneruskan bakat melukis mereka, kecuali di waktu muda mereka sempat menulis di koran dan majalah. Cucu-cucunya ada beberapa yang mewarisi bakat itu dan salah seorang cucunya yang senang membuat anime sekarang bekerja sebagai ilustrator di CNN di Atlanta.
Komik strip “Si Apiao” yang dimuat seminggu sekali di halaman khusus anak-anak persis di tengah-tengah majalah Star Weekly. Setelah terkumpul cukup banyak, setahun sekali komik strip itu kemudian diterbitkan menjadi buku oleh Penerbit Keng Po.
Sosok bocah cerdas-cerdik berkepala gundul plontos itu sangat digemari anak-anak. Setia menghiasi mingguan Star Weekly sampai dihentikan penerbitannya oleh pemerintah pada medio 1960-an.
Menurutku, sosok Apiao diilhami film anak-anak produksi China (RRC, bukan Hong Kong atau Taiwan) era hitam-putih 1950-an yang bertajuk “San Mao”, kisah si bocah gelandangan dengan ciri khas berambut tiga helai yang punya hokkie bagus karena diangkat anak oleh keluarga kaya (mengingatkan pada cerita anak-anak klasik Oliver Twist karya pujangga Inggris, Sir Charles Dickens). Kepopuleran Apiao di Indonesia dibuktikan lewat film “Di Balik Awan” (1963) karya Fred Young. Diceritakan tokoh pejuang terluka yang diperani Bambang Irawan (ayah Ria Irawan) dirawat dan diberi nama Si Apiao oleh ayah angkatnya, A-Tjang, seorang Tionghoa pedagang kelontong keliling yang pro Republik.

Sebenarnya ada lagi komik serial Kapten Djoni (era 1950-an) yang coretannya sangat western style, tak kalah dibanding Hogart (pelukis komik serial Tarzan asli), namun aku tak tahu siapa namanya karena tak dicantumkan!
Sementara dari barisan komikus etnis Sunda setelah Kosasih patut dicatat nama-nama S. Ardisoma dan Oerip. Sedangkan dari Jogja ada nama Abdulsalam (Djaka Tingkir) dan Nasrun AS (Putri Hidjau) yang sangat halus coretannya.
Kebesaran dan karya-karya besar mereka bagai telah dilupakan masyarakat Indonesia, bahkan juga oleh keluarga, anak-cucu sendiri. Mungkin hanya segelintir penikmat sejati komik saja yang masih mengenang mereka. Sedikit banyak mereka telah berjasa menorehkan nama harum dengan tinta bak untuk Ibu Pertiwi di bidang yang setia ditekuni sepanjang hayat …

Cina dan Kawin Silang Budaya

SEJAK zaman dulu, bangsa Cina dikenal memiliki kebudayaan yang tinggi. Berbagai peninggalan berupa bangunan maupun karya sastra serta benda-benda seni lain dapat disaksikan keunggulannya hingga kini. Kebudayaan Cina tersebut menyebar ke seluruh dunia dan saling memengaruhi. Salah satunya adalah arsitektur Cina yang berdiaspora dengan arsitektur-asritektur dari kebudayaan lain yang melahirkan kebudayaan baru.

Namun sayang, akibat belum banyaknya penelusuran terhadap temuan kebudayaan baru tersebut, khazanahnya belum banyak diperbincangkan. Sejauh manakah arsitektur Cina ini berpadu dengan arsitektur dari kebudayaan lain untuk kemudian menjadi paradigma baru dalam cara pandang ideologi, sikap politik, ataupun tatanan kehidupan bermasyarakat yang lebih luas?

Menurut Dr. Johannes Widodo, Ph.D. dari Universitas Nasional Singapura, secara ideologis politis, identitas kecinaan saat ini berujung pada idiom Chines More or Less atau "Orang Cina Bukan Cina" (OCBC). Pasalnya, hampir sebagian besar orang Cina yang menyebar di seluruh dunia sudah menjadi orang Cina dalam identitasnya yang baru.

Dalam seminar internasional bertajuk “Chinese Diaspora's Culture in Art & Design in Asia Pasific” yang diselenggarakan FSRD Universitas Kristen Maranatha Bandung itu Johannes menyatakan, sebagai bangsa rantau dari negeri yang lebih banyak mengenyam kemiskinan dan pahit getir akibat jomplangnya kehidupan Cina kekaisaran di utara dengan Cina biasa di selatan, terbentuklah karakter Cina baru yang sangat adaptif. Cina yang selalu memosisikan dirinya berada di pihak yang netral. Jika para perantau Cina merapat di satu kepulauan atau negara, mereka akan mengikuti upacara adat tradisi daerah setempat tersebut dahulu sebagai bentuk kulo nuwun terhadap leluhur setempat.

Patung-patung seperti "Datuk Kong" di Kucing, Malaysia, merupakan bentuk dari sikap adaptifnya Cina perantauan. Datuk di kawasan Melayu diyakini sebagai tetua adat. Sedangkan Kong tokoh serupa bagi keyakinan orang Cina. Berkat terjadi penyatuan antara dua kebudayaan Cina dan Melayu, lahirlah patung "Datuk Kong" sebagai hibrid baru kebudayaan.

Uniknya, patung yang lebih identik sebagai totem ini, diterima kedua belak pihak, baik masyarakat Cina pendatang maupun masyarakat Melayu setempat. Ornamennya pun lebih unik, berupa seorang Datuk mengenakan sarung batik, bermata sipit, dengan peci haji, dan menjadi penjaga pintu masuk tempat peribadatan.

Dalam kekayaan arsitektur lainnya, kebudayaan hibrid OCBC menyebar pada berbagai arsitektur dermaga pelabuhan, masjid, perkampungan Cina (China Town), rumah adat setempat seperti Rumah Tulo di Kalimantan Barat, kelenteng, atau yang paling modern pada bentuk arsitektur shop houses di Eropa. Termasuk pada model canton yang masih banyak dipergunakan di sebagian besar negara dengan transformasi air.

Pada arsitektur masjid, simbiosis kedua kebudayaan Cina-Islam itu membaur seakan menjadi satu dan tidak dapat dipisahkan. Bahkan ketika Portugis menguasai Indonesia pun, pengaruh itu masuk sedemikian rupa menjadikan kebudayaan hibrid baru dari Cina (BudDha, Tao)-Indonesia/Melayu (Islam)-Portugis (Kristen) melahirkan mesjid dengan arsitektur atap berbentuk salib (Portugis), bel (Hindu), dan ornamen Melayu (Islam). Dengan fungsi yang tetap sama sebagai mesjid.

Peleburan berbagai kebudayaan ini menjadi bukti bahwa secara vertikal, masyarakat dari ketiga kebudayaan tersebut tetap meyakini kepercayaannya masing-masing. Sedangkan secara horizontal, mereka tetap hidup berdampingan dengan identitas kebaruannya yang mereka terima.

**

JIKA penelusuran ini dipetakan, terdapat lima aspek yang berdiaspora menjadi kebudayaan baru yang hibrid, yakni persoalan tata ruang, pakaian (busana), warna, dan arsitektur. Termasuk juga berbagai jenis kesenian dan sastra.

Warna kuning keemasan di Palembang, contohnya. Warna ini sama halnya dengan warna merah dan kuning keemasan dalam khazanah warna Cina, diyakini sebagai lambang kekayaan dan kejayaan. Lambang kekaisaran yang agung dan terhormat. Begitu juga dengan ornamen dermaga pelabuhan. Setiap pancang dermaga pelabuhan merupakan perpaduan antara arsitektur Cina (pendatang) dan arsitektur setempat (lokal).

Desain kampung juga demikian. Kampung Cina dan Kampung Melayu, umpamanya, menempatkan ruang publik pada bagian tengah desain kampungnya. Bagian tengah ini menjadi wilayah paling terbuka dibandingkan bagian atas yang biasanya menjadi tempat upacara keagamaan seperti konsep Kampung Cina Tangkera di Pantai Melaka.

Menurut Widodo, nama Muhammad Cheng Hoo juga bentuk penghormatan kepada Laksamana Haji Zheng Hee atau dikenal dengan nama Ma Zheng He. “Bagi masyarakat Indonesia terutama masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia, nama Laksamana Haji Zheng Hee atau Muhammad Cheng Hoo sudah cukup dikenal, sekalipun lebih dikenal dengan nama Sam Poo Kong. Masyarakat Jawa bahkan mengenalnya dengan sebutan Dampo Awang,'’ katanya.

Ekspedisi Laksamana H.M. Cheng Hoo (tahun 1405-1433 M) untuk keliling dunia membuka “Jalur Sutra dan Keramik'’, selalu melintasi Indonesia. Daerah-daerah yang pernah dikunjungi Cheng Hoo antara lain, Pulau Jawa, Palembang, Aceh, Lamuri, Batak, Lide, Pulau Aru, Tamiang, Pulau Brass, Pulau Lingga, Kalimantan, Pulau Gelam, Pulau Karimata, dan Beliton.

Di Jawa, panglima perang sekaligus Muslim yang saleh, Cheng Hoo bersama anak buahnya mendirikan sejumlah masjid dan musala. Ekspedisinya melewati Indonesia berlangsung pada masa Kerajaan Majapahit, Kerajaan Samboja di Palembang, dan Kerajaan Samudra Pasai di Aceh masih berjaya.

Sebetulnya, Cheng Hoo sudah pernah membangun masjid di beberapa tempat dalam perjalanan ekspedisi lainnya seperti di Gedung Batu Semarang yang sekarang dikenal menjadi Klenteng Sam Poo Kong dan beberapa musala di Ancol Jakarta, Cirebon Jawa Barat, dan di pantai utara Jatim mulai Tuban, Gresik, Surabaya (Klenteng Makam Mbah Ratu).

**

DARI semua penelusuran Widodo, terdapat satu benang merah. Terjadi suatu proses metafisis kebudayaan yang kemudian berdiaspora melahirkan suatu kebudayaan baru yang hibrid. Sebuah identitas baru yang lebih bhineka dari sebelumnya.

Pada tataran ideologis, kelahiran kebudayaan hibrid menggiring semakin lumpuhnya paham-paham fanatisme ataupun fasisme yang (mungkin) masih dianut sebagian masyarakat. Bukankah dengan semakin banyak kebudayaan hibrid seperti ini, semakin tidak bisa (lagi) seseorang menyatakan dirinya paling pribumi, paling asli. Kecuali jika seseorang itu adalah Hitler yang rezimnya kini sudah hancur. (Eriyanti Nurmala Dewi/"PR")***

Perilaku Ekonimi Etnis Cina di Indonesia Sejak Tahun 1930-an

Pendahuluan
Kehidupan etnis Cina di Indonesia memang sangat menarik untuk dikaji. Pertama, karena sensitif menyangkut pembicaraan SARA, kedua, latar belakang historis dan cara pandang mereka serta pengalaman hidup di bumi nusantara ini, tidak bisa begitu saja digeneralisasi.
Makalah ini mencoba membahas secara obyektif, perilaku budaya dan ekonomi etnis Cina di Indonesia, dimana perilaku tersebut merupakan perilaku yang saling terkait satu sama lain. Isu ini memang sering menjadi diskusi dibanyak kalangan masyarakat Indonesia.
Etnis Cina dengan perilaku ekonominya disadari atau tidak, dalam kenyataan telah menyumbangkan beragam kegiatan perekonomian bangsa Indonesia baik yang bersifat positif maupun negatif. Sedangkan budaya “pecinan”-nya memperkaya keunikan khasanah budaya Indonesia.

Seperti yang dicatat oleh Fujitsu Research di Tokyo (Naisbitt, 1997:19-20) yang mengamati daftar perusahaan-perusahaan di 6 (enam) negara kunci di Asia, didalamnya di gambarkan betapa perusahaan-perusahaan tersebut secara mayoritas dikuasai oleh etnis Cina perantauan, misalnya, Thailand sebanyak 81%, Singapura sebanyak 81% di Indonesia sebanyak 73% dan lain-lain.

Gambaran di atas membuktikan betapa berpengaruhnya peran ekonomi etnis Cina dalam perekonomian di Indonesia. Telah menjadi suatu ketentuan atau syarat utama kesuksesan suatu pembangunan ekonomi, bahwa partisipasi ekonomi segala pihak yang harus lepas dari kasus primordialisme termasuk SARA di dalamnya. Ini menjadi permasalahan dalam tulisan ini. Sebab adanya stereotipe-stereotipe negatif tentang peran ekonomi etnis Cina dalam masyarakat akan mengganggu pertumbuhan ekonomi, khususnya stereotipe negatif yang berhubungan dengan peran ekonomi mereka.

Selama Orde Baru berjaya dalam 3 dekade lebih, selama itu pula etnis Cina banyak mengalami diskriminasi. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya beberapa peraturan yang mengatur eksistensi etnis Cina di Indonesia.
o Pertama, Keputusan Presiden Kabinet No. 127/U/KEP/12/1996 tentang masalah ganti nama.
o Kedua, Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IV/6/1967 tentang Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina yang wujudnya dibentuk dalam Badan Koordinasi Masalah Cina, yaitu sebuah unit khusus di lingkungan Bakin.
o Ketiga, Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-06/PresKab/6/1967, tentang kebijakan pokok WNI keturunan asing yang mencakup pembinaan WNI keturunan asing melalui proses asimilasi terutama untuk mencegah terjadinya kehidupan eksklusif rasial, serta adanya anjuran supaya WNI keturunan asing yang masih menggunakan nama Cina diganti dengan nama Indonesia.
o Keempat, Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang tempat-tempat yang disediakan utuk anak-anak WNA Cina disekolah-sekolah nasional sebanyak 40 % dan setiap kelas jumlah murid WNI harus lebih banyak daripada murid-murid WNA Cina.
o Kelima, Instruksi Menteri Dalam Negara No. 455.2-360/1968 tentang penataan Kelenteng-kelenteng di Indonesia.
o Keenam, Surat Edaran Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika No. 02/SE/Ditjen/PP6/K/1988 tentang larangan penerbitan dan pencetakan tulisan/ iklan beraksen dan berbahasa Cina. (Kompas Minggu, 6 Februari 2000: 9).

Perjalanan etnis Cina dalam sejarah bangsa Indonesia, memang perlu dipertanyakan seberapa besar hak dan dimana letak keadilan berbangsa yang diterima oleh etnis Cina di Indonesia. Oleh sebab itu tulisan ini akan membahas latar belakang sejarah dari jaman penjajahan Belanda, Orde Lama, Orde Baru dan masa Reformasi.
Secara khusus, tulisan ini membahas tentang bagaimana latar belakang sejarah etnis Cina di Indonesia, sejak tahun 1930-an sampai awal tahun 2000, serta bagaimana sikap mereka dalam bidang ekonomi, yang menyangkut perilaku ekonomi etnis Cina di Indonesia.

Pembahasan
Perilaku ekonomi etnis Cina di Indonesia dipengaruhi oleh persepsi mereka tentang situasi dan kondisi politik, hankam dan sosial masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Robbins (1991:125), bahwa persepsi individu ataupun sekelompok orang merupakan suatu proses dimana individu atau suatu kelompok mengorganisir dan menerjemahkan kesan sensorik mereka untuk memberikan tanda bagi lingkungan mereka. Terlepas dari pengukuran seseorang berjiwa nasionalis ataupun bukan, hal ini terkait dengan salah satu kebutuhan dasar hidup manusia yaitu menyangkut keselamatan dan keamanan etnis Cina di Indonesia. Selain itu persepsi tentang etnis Cina di Indonesia juga tergantung streotipe yang beredar di kalangan masyarakat pribumi tentang etnis Cina di Indonesia.
Pembentukan persepsi tentang etnis Cina di Indonesia terkait dengan karakteristik pribadi mereka, terutama dalam menyikapi situasi lingkungan yang mereka hadapi, dengan motivasi tertentu terutama untuk mendapatkan keamanan dan kesejahteraan hidup, bahkan kemapanan. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh latar belakang pengalaman masa lampau, yang merupakan dasar untuk melangkah maju meraih harapan-harapan hidup mereka di masa kini dan yang akan datang. Oleh sebab itu, perlu diketahui latar belakang sejarah etnis Cina, sebagai pengetahuan untuk memahami perilaku ekonomi dan budaya etnis Cina. Lintasan sejarah, dalam makalah ini akan dibatasi dalam beberapa bagian, yaitu periode tahun 1930-an, periode tahun 1941sampai tahun 1958, periode tahun 1959 sampai tahun 1966, periode tahun 1966 sampai tahun 1986, periode tahun 1986 sampai Agustus 1999, dan periode Agustus 1999 sampai Maret 2000.

Perilaku Ekonomi Etnis Cina Tahun 1930-an
Pada era ini, dalam bidang agraria, etnis Cina masih dibatasi kepemilikannya, kecuali di Pulau Bangka, di Kalimantan Barat, dan beberapa lokasi di Pulau Sumatera serta Pulau Jawa. Akibat kondisi jaman Malaise, ada pergeseran peran ekonomi tertentu terutama dari kuli perkebunan di Sumatera Timur menjadi tengkulak, pedagang ikan, atau pemilik penggilingan beras. Demikian juga munculnya dominasi dalam per-dagangan eceran oleh etnis Cina, pada tingkat yang lebih rendah daripada Belanda. Profesi ini diikuti pula oleh peran sebagai tengkulak dan penjaja keliling kecil-kecilan. Bisnis di bidang keuangan hanya bersifat tengkulak pegadaian tingkat bawah dan tidak berbentuk perbankan. Industri pabrik kretek, batik dan tekstil kecil juga dimiliki oleh etnis Cina ini, sedangkan pribumi sebagian besar masih berkutat di bidang agraria dan dinas-dinas pemerintah Hindia Belanda.
Etnis Cina yang telah berpendidikan mulai menekuni bidang-bidang yang terspesialisasi, misalnya dokter, akuntan dan pengajar. Yang bekerja sebagai kuli, atau buruh kasar baik yang terampil ataupun tidak, mulai menyusut jumlahnya. Selain itu, banyak yang bekerja di perusahaan-perusahaan Cina (Mackie, 1991:322-323). Jadi, pada periode tahun 1930-an, sebagian besar etnis Cina bekas kuli berganti peran menjadi pedagang dan usahawan dalam perdagangan kecil-kecilan atau industri berskala kecil yang menyisihkan para pedagang dan usahawan kecil pribumi, tetapi tidak usahawan-usahawan Belanda.

Perilaku Ekonomi Etnis Cina Tahun 1941 sampai Tahun 1958
Secara umum perusahaan Belanda dan pihak swasta asing dominan dalam sektor ekonomi utama, seperti manufacture, perkebunan, industri tekstil dan lain-lainnya. Muncul perubahan peran ekonomi etnis Cina, yang saat itu sedikit demi sedikit memasuki ushaha grosir dan ekspor impor yang waktu itu masih didominasi Belanda. Kemudian diikuti oleh tumbuhnya bank-bank swasta kecil yang dimiliki oleh etnis Cina, dan muncul juga dalam industri pertekstilan (Mackie, 1991:322-323).
Bidang pelayaran menjadi sektor utama yang secara luas dipegang oleh etnis Cina masa itu, tetapi pada akhirnya mendapat saingan dari perusahaan negara dan swasta pribumi. Pada bidang jasa dan profesipun secara kuantitatif meningkat, tetapi untuk dinas pemerintahan dan angkatan bersenjata, secara kuantitas hampir tidak ada.

Terjadi pergeseran peran dari tenaga “kasar” (misalnya sebagai kuli perkebunan) menjadi tenaga kerja “halus” yang pekerjaannya memiliki status atau “gengsi” yang lebih tinggi dan lebih membutuhkan keterampilan, misalnya penata rambut, pengrajin emas, wartawan, dokter, pengacara dan lain-lain. Sehingga, pada jaman perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia dan Demokrasi Terpimpin, peran ekonomi etnis Cina meluas, lebih-lebih dengan adanya kebijakan Benteng yang membuat usaha pribumi tidak berjalan efektif dan memacu hubungan “Ali-Baba”, serta terjadi persaingan dari perusahaan negara dan swasta pribumi lainnya.

Perilaku Ekonomi Etnis Cina Tahun 1959 sampai Tahun 1966
Perilaku ekonomi etnis Cina semakin menonjol pada periode ini, lebih-lebih tahun 1957 sampai tahun 1958. Keberhasilan usaha mereka mengambil alih perusahaan-perusahaan besar Belanda yang dinasionalisasi, walaupun kondisi politik dan ekonomi Indonesia tidak menguntungkan mereka, lebih-lebih setelah peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965. Pada masa itu, etnis Cina kelas menengah melakukan human capital besar-besaran dibidang pendidikan terutama yang bersifat teknis dan manajerial, sehingga pada saat terjadi inflasi tinggi dan perasaan anti etnis Cina menyebar luas hingga tahun 1966, etnis Cina dapat beradaptasi dengan fleksibel. Hal tersebut dilakukan melalui penyediaan modal dan valuta asing yang didapat dari modal sendiri atau keluarga dan atau jaringan dengan pihak luar. Kunci utama keberhasilan pelaku ekonomi baru etnis Cina, adalah merintis kedekatan dengan pejabat pemerintah pada awal Orde Baru sebagai pembinaan hubungan secara ekonomi dan politis. Walaupun demikian, orang Cina tidak banyak yang terjun secara terbuka dalam politik praktis saat itu, mereka melakukannya lewat dukungan material dan non material.

Perilaku Ekonomi Etnis Cina Tahun 1966 sampai Tahun 1986
Pada tahun 1965 sampai tahun 1968 merupakan tahun-tahun dimana tindakan kekerasan terhadap etnis Cina meningkat akibat peristiwa G 30 S/PKI, yang oleh rezim Soeharto diatasi secara gradual.
Situasi kondusif bagi pertumbuhan perekonomian dirangsang oleh pemerintah Orde Baru, yang tentunya membutuhkan lebih banyak usaha, dan modal swasta. Secara kebetulan, kedua hal tersebut banyak dimiliki oleh etnis Cina dan ditunjang pula oleh kemampuan teknis dan hubungan perekonomian dengan pihak luar negara, terutama dengan sesama etnis Cina di luar negara. Akibatnya, kebanyakan etnis Cina mengalami peningkatan status sosial ekonomi daripada kondisi sebelumnya. Namun demikian, mereka masih dikesampingkan dari usaha-usaha perekonomian utama, dan terdiskri-minasi untuk memasuki Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, administrasi sipil pemerintah dan perguruan tinggi negara.
Dampak dari perlakuan diskriminatif ini adalah terjadinya pembagian kerja yang bersifat pri dan non pri (bumi). Perubahan peran ekonomi cenderung menghambat kerjasama ekonomi yang lebih kuat sejak pasca perang kemerdekaan Republik Indonesia. Menurut Mackie (1991: 327-328), para etnis Cina akhirnya lambat laun mengganti identitasnya menjadi identitas Indonesia, terutama disebabkan atas alasan peran ekonomi mereka.
Munculnya perusahaan-perusahaan yang dikuasai etnis Cina berdampak negatif, dengan tidak dilibatkannya pengusaha pribumi untuk bekerjasama dalam korporatisasi perusahaan-perusahaan. Efek negatif yang muncul adalah semakin tajamnya persaingan usaha pri dan non pri (bumi).

Perilaku Ekonomi Etnis Cina Tahun 1986 sampai Agustus 1999
Masa ini merupakan masa keemasan bisnis etnis Cina di Indonesia, terlebih-lebih bagi yang dekat dengan “Keluarga Cendana”. Etnis Cina mengokohkan diri sebagai salah satu pilar penyanggga pertumbuhan ekonomi Indonesia. Keberanian pengusaha dan pelaku ekonomi etnis Cina lainnya dalam penanaman modal, spekulasi, strategi kerjasama dan jaringan kerja dengan pihak luar negara menjadi point istimewa perilaku ekonomi etnis Cina di tahun-tahun ini. Kedekatan dengan pejabat bahkan sampai ke hal-hal pribadi yang cenderung dihubungkan dengan kolusi, korupsi dan nepotisme juga dilakukan oleh beberapa pengusaha etnis Cina kelas menengah dan atas.

Akan tetapi, pembangunan ekonomi juga kemapanan hidup yang didengungkan dan dibanggakan Orde Baru, bagaikan suatu menara gading yang dasar konstruksi tidak kuat, maka terjadi keruntuhan rezim dan kemapanan hidup yang “menyakitkan” dengan adanya krisis moneter. Kalangan bawah “bergerak” karena ketidakpuasan terhadap situasi dan kondisi kehidupan sosial dan ekonominya, serta sikap anti kemapanan, yang salah satunya tercetus dalam bentuk kerusuhan Mei 1998. Kerusuhan berupa penghancuran toko-toko serta pusat perdagangan terutama yang dimiliki oleh etnis Cina. Hal ini ikut mendorong jatuhnya mantan Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan.
Kerusuhan Mei 1998, juga berpengaruh pada sikap anti etnis Cina terutama yang memiliki usaha. Orang Cina yang trauma akibat kerusuhan Mei 1998, banyak yang lari ke luar negara, dan sebagian ada yang melarikan modal ke luar negara. Usaha-usaha niaga etnis Cina di kota-kota besar banyak yang vakum, dan baru mulai bangkit setelah ada jaminan keamanan dari mantan Presiden Habibie. Pelaku ekonomi etnis Cina hanya menunggu perkembangan keadaan.

Perilaku Ekonomi Etnis Cina Agustus 1999 sampai Maret 2000
Kondisi ekonomi yang kondusif pun digalakkan dalam pemerintahan mantan Presiden Abdurrahman Wahid, dengan dicabutnya beberapa Kepres ataupun Inpres yang mendiskri-minasikan etnis Cina serta himbauan yang ditujukan kepada pelaku ekonomi etnis Cina untuk menjalankan usahanya kembali ke atau di tanah air.
Akan tetapi, kinerja pemerintah Gus Dur belum meyakinkan banyak pihak termasuk pelaku ekonomi etnis Cina, karena gaya kepemimpinan dan gaya politik Gus Dur sering berubah arah, sehingga berdampak pada fluktuasi nilai tukar mata uang asing terutama dollar Amerika Serikat di bursa saham Jakarta. Tentu saja, hal ini menggoyahkan kestabilan usaha ekonomi terutama kalangan pihak asing dan pelaku ekonomi etnis Cina. Pelaku ekonomi etnis Cina masih menunggu langkah-langkah konkret pemerintah Gus Dur untuk memperbaiki situasi per-ekonomian dan usaha nasional, walaupun demikian pelaku ekonomi etnis Cina masih merasa “aman” berbisnis dan bertempat tinggal sementara waktu di Indonesia. Oleh sebab itu usaha-usaha etnis Cina yang saat itu dilakukan cenderung yang bukan beresiko atau berspekulatif tinggi tetapi dapat menguntungkan mereka, terutama di usaha-usaha bagian hilir.
Perilaku ekonomi etnis Cina sepanjang periode tahun 1930-an sampai Maret 2000 masih dibumbui oleh berbagai stereotipe yang “miring” tentang peran ekonomi etnis Cina dalam masyarakat Indonesia. Antara lain, yaitu: (a) kebobrokan ekonomi Indonesia adalah akibat banyaknya dana yang dibawa pengusaha etnis Cina ke luar negara; (b) kolusi dan nepotisme menjadi kebiasaan pengusaha etnis Cina yang mempengaruhi kepada kinerja para birokrat. Stereotipe-stereotipe miring di atas yang terasa sebagai generalisasi beberapa hal negatif perilaku ekonomi etnis Cina tampaknya perlu dikaji dengan pikiran yang obyektif dan bijaksana.
Mengutip pernyataan Bustanil Arifin, dalam Pasific Business Forum (Naisbitt, 1997:19-20), bahwa perusaha-an kecil dan menengah memperkerjakan separuh tenaga kerja di banyak negara-negara Asia dan etnis Cina memiliki 90% dari perusahaan-perusahaan tersebut. Khususnya di Indonesia, populasi etnis Cina hanya 3,5% dari seluruh total populasi penduduk Indonesia tetapi ternyata mengendalikan 73% ekonomi di Indonesia.

Etnis Cina di Indonesia menjadi salah satu masyarakat keturunan Cina perantauan yang hidup dan tinggal di luar negara asalnya. Jaringan kerja etnis Cina perantauan sejak kegiatan ekonomi tahun 1990-an hingga kini mendominasi kegiatan ekonomi wilayah Asia, termasuk Indonesia. Menguatnya jaringan-jaringan kerja lintas negara ini mendominasi pula cara atau perilaku etnis Cina di Indonesia dalam menyikapi galobalisasi. Etnis Cina di Indonesia sebagian besar lebih siap menyongsong globalisasi. Seperti yang beritakan dalam majalah berbahasa Cina Forbes Zibenjia pada tahun 1994, yang menganalisa ratusan perusahaan besar dan 10 (sepuluh) pasar saham Asia yaitu Taipei, Seoul, Shanghai, Hongkong, Shenzhen, Bangkok, Kuala Lumpur, Jakarta, Singapura dan Manila:
“Their combined assets came to $ 1.14 trilion, or 89 percent of total market capitalizition of the top thousand companies, 517 had an etnic Chinese as the single largest stockholder. Thus, ethnic Chinese controlled $ 541 billion, some 42 percent of the total in these ten markets ¡V quite a bit more than the $200 billion to $300 billion cited in other estimates”. (Naisbitt, 1997:19)
Keistimewaan perilaku ekonom etnis Cina yang pertama adalah terletak pada kuatnya sistem jaringan kerja. Walaupun demikian sikap kompetitif antara mereka tetap terpelihara secara sehat. Hal ini semakin memperkuat kinerja bisnis di kalangan mereka. Bahkan saat terjadi krisis ataupun munculnya tantangan besar, mereka akan saling bekerjasama. Oleh sebab itu bisnis keluarga menjadi salah satu ciri jaringan kerja yang mereka bentuk. Demikian pula di Indonesia, usaha kecil sampai perusahaan besar etnis Cina di Indonesia banyak yang dikelola sebagai usaha keluarga, contohnya Salim Group, Khong Guan, PT “Cap Orang Tua” perusahaan jamu “Jago”, perusahaan jamu “Air Mancur”, dan lain-lain.
Sebagai gambaran tokoh konglomerat etnis Cina, salah satunya adalah Liem Sioe Liong yang oleh Naisbitt disebutkan memiliki kekayaan bersih $4,5 juta (1997:24). Liem Sioe Liong alias Soedono Salim pemilik Salim Group, merupakan salah satu sosok etnis Cina perantauan yang sukses mengadu untung di luar negara asalnya. Soedono Salim yang meninggalkan Cina Selatan di tahun 1930-an menuju Indonesia, melalui jaringan usaha perdagangan ia bisa berhubungan erat dengan Soeharto, Presiden II RI, yang dimasa lalu Liem Sioe Liong menyediakan dukungan untuk melawan penjajah Belanda. Mereka saling bersahabat sampai Soeharto menggantikan Presiden Soekarno tahun 1965. Keuntungan yang didapat Liem Sioe Liong dari hubungan ini adalah diperolehnya berbagai fasilitas ijin ataupun proyek untuk perusahaan Salim Group, hingga penjualannya meningkat drastis sampai $ 9 juta tahun 1994, yang dihitung sebagai 5% pendapatan kotor domestik Indonesia.
Perilaku hubungan jaringan kerja antara etnis Cina terbentuk karena pengalaman yang mereka lalui. Sesama migran etnis Cina dimanapun berada saling menjaga dan membantu pendatang-pendatang baru di bumi nusantara yang mereka tempati sebagai negara harapan. Manfaat dari adanya hubungan jaringan kerja yaitu:
o memaksimalkan “contact points” untuk (informasi) pekerjaan
o menyebarluaskan berita termasuk tukar menukar berita, dan
o memperkuat dukungan psikologis antar anggota.

Menurut Wertheim yang dikutip oleh Mackie (1991: 293), pembagian kelas etnis Cina dengan masyarakat pribumi bersifat vertikal dalam artian sebagai sikap primordial, akibat tanggapan bahwa etnis Cina dianggap kelompok minoritas. Kompetisi antar perlaku ekonomi Cina (terutama sebagai pengusaha atau wiraswastawan) dengan masyarakat pribumi sering menjadi penyebab konflik tertutup maupun terbuka terhadap etnis Cina.
Hubungan jaringan kerja antar etnis Cina di Indonesia ini, menguatkan psikis anggotanya melalui hubungan bisnis dan sebagainya. Selain itu hubungan jaringan kerja ini berfungsi sebagai mediator toleransi antaretnis Cina dengan masyarakat, terutama dalam hubungan bisnis.

Kuatnya hubungan jaringan kerja etnis Cina di Indonesia, ini semakin meningkatkan kekuatan usaha etnis Cina. Situasi dan kondisi ini mendorong usahawan etnis Cina mendirikan usahanya sampai ke wilayah pelosok-pelosok pedesaan. Tetapi kondisi ini tidak memancing konflik usaha dengan pengusaha pribumi, justru dominasi pengusaha etnis Cina pada sektor-sektor kehidupan ekonomi yang lebih penting di kota besar yang menjadi salah satu penyebab saingan keras dengan pengusaha pribumi kelas menengah.
Dalam tiga dasa warsa terakhir, masyarakat etnis Cina perantauan dan atau etnis Cina di Indonesia justru cenderung menanam modal jangka panjang di dalam negeri (Naisbitt, 1997:28). Sikap ini mematahkan generalisasi stereotipe bahwa etnis Cina cenderung menanamkan investasi di negara asal, daripada negara yang ditempatinya. Namun sikap ini juga tergantung pada sikap pemerintah dan kebijakan politik serta sikap rakyat pada umumnya. Dalam kenyataan sosial dan politik, beberapa orang dalam masyarakat pribumi menganggap etnis Cina lokal tetap sebagai orang “luar” yang diragukan nasionalismenya dan tidak dapat berasimilasi. Hal ini menjadi bumerang bagi semua pihak dimana dapat dipastikan pada etnis Cina akan merasa terancam dan tidak ada pilihan lain untuk bertahan dengan solidaritas komunal mereka sebagai kelompok minoritas yang tertindas.
Tentunya kecenderungan untuk menanam modal jangka panjang di negara yang mereka tempati mendukung integrasi dengan komunitas lokal. Hal ini dibuktikan dibanyak tempat di nusantara bahwa etnis Cina dapat berbahasa lokal, misalnya etnis Cina di Pontianak, di Solo, di Tegal, di Ujung Pandang dan sebagainya. Walaupun mereka menjalankan integrasi lokal, dalam beberapa kehidupan keseharian etnis Cina, terutama yang belum atau tidak melakukan pernikahan asimilasi dengan pihak pribumi, tetap mempertahankan kemampuan baca dan berbicara bahasa Mandarin dan atau Kanton. Etnis Cina yang tidak atau belum berasimilasi melalui perkawinan dengan kaum pribumi, biasanya hanya mengambil kebiasaan-kebiasaan budaya lokal terutama dalam hal makanan.
Karakteristik lain yang dimiliki etnis Cina di Indonesia adalah kemauan kerja kerasnya dan kebiasaan hidup hemat. Mereka mampu bekerja dalam waktu yang panjang dan jarang beristirahat kecuali untuk hari besar mereka. Senantiasa menghasilkan uang, sudah menjadi kebiasaan sekaligus kesenangan mereka. Prof. Wang Gung Wu menegaskan bahwa sikap orang Cina mengarah pada kemakmuran (dalam Wang dan Cushman, 1991:30).
Salah satu kesamaan karakteristik antara etnis Cina di Indonesia dengan masyarakat pribumi berkaitan dengan konflik adalah sama-sama lebih menyukai penyelesaian perbedaan melalui negoisasi, dibandingkan pemecahan konflik secara formal. Hal ini terlihat dari kentalnya jaringan kerja yang telah menjadi kebiasaan etnis Cina, tentunya kondisi ini menjawab mengapa “guan xi” (kontak personal) menjadi penting dalam perilaku ekonomi mereka.

Skinner (Mackie, 1991:306) mengatakan bahwa kekuatan kecenderungan asimilasi terutama bergantung pada keadaan daerah setempat dan faktor sosio budaya, bukan pada kualitas yang ada pada diri etnis Cina. Hal ini ditegaskan oleh Mackie bahwa: “akibat kolonialisme Belanda yang melakukan pembagian kelas warganegara Hindia Belanda, mendudukan etnis Cina di atas bangsa pribumi, mengakibatkan lambannya identifikasi etnis Cina terhadap Indonesia pada pasca awal kolonialisme Belanda” (1991:306).
Walaupun kemudian proses identifikasi penuh etnis Cina sebagai orang Indonesia mengalami hambatan diskriminasi politik, ekonomi dan sosial, namun solusi asimilasi sosio budaya bukan merupakan jawaban kunci dari permasalahan ini. Hambatan-hambatan ini akhirnya menjadi alasan mengapa beberapa pelaku ekonomi dari kalangan etnis Cina mengarahkan investasi bisnisnya ke luar negeri, yang intinya mencari keamanan untuk bisnis dan kelangsungan kehidupannya.
Menurut Mackie (1991:330-332), perilaku ekonomi etnis Cina, menurut Mackie (1991:330-332), terutama yang berjenis perusahaan konglomerat, diidentifikasikan dalam 7 (tujuh) karakteristik, yaitu:
Mayoritas berupa keaneka-ragaman kepentingan, yang tidak lepas dari “core business”-nya, misalnya pangan.
Orang-orang baru sebagai pelopor pembentukan struktur konglo-merasi, karena tidak semua perusahaan keluarga berlatar belakang dari perusahaan keluarga etnis Cina yang telah mapan sebelumnya. Contohnya, Liem Sioe Liong adalah usahawan etnis Cina perantauan yang semula miskin.
Mempunyai hubungan dengan modal asing. Perusahaan-perusahaan etnis Cina yang mapan cenderung dipercaya oleh pihak asing daripada perusahaan pribumi atau perusahaan negara.
Mempunyai kepemilikan bank-bank swasta, dimana kepemilikan- nya dimanfaatkan untuk membantu kepentingan yang lebih luas bagi para konglomerat.
Investasi dilakukan bukan pada sektor pertambangan, perkebunan dan industri berat, karena sektor-sektor tersebut memiliki resiko politis dan resiko kerugian paling besar.
Investasi di luar negeri, terutama Singapura dan Hongkong, memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi dan tidak terlalu besar resiko politis dan ekonominya.
Sebagian besar perusahaan keluarga berfungsi sebagai inti perusahaan konglomerat, walaupun kini tingkatan manajernya bertumpu pada profesionalitas manajer dan pekerja, tetapi tidak meminimalisir “peran” pemilik perusahaan keluarga tersebut. Ciri perilaku bisnis etnis Cina ini terlihat dalam komposisi staf dalam perusahaannya, dimana jabatan pengambil keputusan berada di tangan kolega etnis Cina atau anggota keluarga yang dipercaya.

Ternyata ke 7 (tujuh) karakteristik ini semakin memperkecil kecenderungan asimilasi penuh etnis Cina pada masa mendatang. Adalah hal yang menarik, bahwa adanya hubungan percukongan yang semakin menjamur dan semakin meningkatnya kejayaan perilaku ekonomi di kalangan elit etnis Cina semasa Orde Baru. Hal ini menjadikan perusahaan- perusahaan mereka sebagai perusahaan multinasional selain konglomerasi.

Sementara itu masyarakat kelas menengah pribumi belum begitu kuat dalam sektor ekonomi modern, kecuali konglomeratnya. Kondisi ini diperburuk dengan sikap beberapa birokrat atau pejabat tinggi Indonesia yang cenderung lebih menyukai kerjasama dengan etnis Cina untuk menjalankan usaha mereka, karena etnis Cina dianggap lebih berpengalaman dan kuat modal daripada pribumi. Selain itu, bekerjasama dengan pengusaha pribumi rentan resiko karena mereka umumnya beraliansi pada partai-partai politik tertentu, sementara pengusaha etnis Cina umumnya netral dalam politik. Situasi kondisi ini yang semakin menyuburkan praktik percukongan, korupsi, kolusi dan nepotisme. Meski demikian sistem kemitraan cukong ini berubah dari waktu ke waktu tergantung pada keberuntungan bisnis Cina yang bersangkutan.
Memang terbukti akhirnya, justru etnis Cina “totok” yang kebanyakan para emigran lebih berhasil dibanding etnis Cina peranakan, penyebabnya etnis Cina “totok” cenderung inovatif dan berani mengambil resiko tinggi sebagai wiraswasta, sedangkan etnis Cina peranakan lebih konservatif dalam usaha, yang cenderung pula lebih berminat menjadi kaum profesional daripada wiraswasta. Walaupun demikian, perilaku ekonomi etnis Cina di Indonesia masih cenderung mengarah pada sistem patron-klien dengan beberapa pejabat pemerintah Indonesia, demi menjaga “keamanan dan kesejahteraan” mereka. Tetapi tak dipungkiri kehadiran mereka membantu dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada umumnya.

Kesimpulan
Prinsip-prinsip perilaku ekonomi etnis Cina di Indonesia memang berubah dari masa ke masa, tetapi secara umum prinsip perilaku ekonomi etnis Cina tergantung pada pemahaman mereka terhadap kebijakan dan situasi kondisi politik nasional tentang keberadaan etnis Cina secara nasional.
Perilaku ekonomi ini akhirnya mengarah pada usaha yang sifatnya aman dan netral dalam arti tidak mengandung banyak resiko bagi keselamatan dan kesejahteraan diri. Bentuk konkret ekonomi etnis Cina cenderung bergerak di bidang perdagangan (retail) dan keuangan, usaha-usaha yang sifatnya bukan usaha besar (karena usaha-usaha vital pengelolaannya dikuasai oleh negara).
Perilaku ekonomi yang cenderung proaktif, berbentuk usaha atau perusahaan keluarga, sudah menjadi ciri etnis Cina di kawasan Asia termasuk Indonesia. Hal ini ditunjang pula oleh persepsi etnis Cina terhadap identifikasi diri etnis Cina terhadap negara yang didiami. Khusus di Indonesia, persepsi ekonomi etnis Cina terbagi antara persepsi ekonomi dan politik etnis Cina “totok” dan peranakan yang awal keduanya hadir sebagai etnis Cina perantauan.
Etnis Cina “totok” terutama yang kondisi status ekonominya berada di bawah, cenderung berperilaku ekonomi dinamis dan berorientasi dagang. Perilaku tersebut termotivasi oleh harapan untuk hidup aman, makmur dan loyal terhadap adat, maupun kepatuhan terhadap keluarga, termasuk hubungan kerjasama etnisitas sesama etnis Cina. Sementara itu orang Cina peranakan cenderung lebih konservatif dalam berbisnis.
Etnis Cina mengandalkan integritas suatu hubungan antar etnis Cina di bidang ekonomi dan kekeluargaan. Bentuk kolaborasi perilaku etnis Cina di Indonesia terutama kelas menengah dan atas (yang secara profesi tidak terikat)

Referensi
o Wang, G. W., dan Jennifer Cushman. (1991). Perubahan indentitas orang Cina di Asia Tenggara. Jakarta: Pustaka Utama Grafika.
o Mackie, J.A.C. (1991). Peran ekonomi dan identitas etnis Cina Indonesia dan Muangthai dalam Wang Gung Wu dan Jennifer Cushman, Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggar. Jakarta: Pustaka Utama Grafika.
o Naisbitt, J. (1997). Megatrends Asia. New York: Touchstone Rockefeller Center.
o Robbins, S. P. (1991). Organizational Behavior. New Jersey:Prentice-Hall.

Jasa Besar Sam Tjay Kong Tetap Dihargai Keraton Cirebon


MAKAM Sam Tjay Kong yang terletak di Jln. Sukalila Utara atau belakang Pasar Pagi Kota Cirebon kini tengah menjadi perhatian serius, khususnya warga keturunan Tionghoa. Berawal dari kebijakan pemkot terkait pelaksanaan projek penataan Pedagang kaki lima (PKL) yang tengah digarap sebuah developer dalam dua bulan terakhir ini.
MAKAM Sam Tjay Kong alias Tumenggung Aria Wira Tjoela di Jln. Sukalila Utara, Kota Cirebon yang meninggal tahun 1739 dan merupakan salah satu cagar budaya. Sam Tjay Kong adalah Cina muslim kerabat Putri Tan Nio Tien, istri Sunan Gunung Djati yang juga menjabat semacam menteri keuangan Kesultanan Cirebon pada masa pemerintahan Sunan Gunung Djati.* AGUNG NUGROHO/"PR"


Pelaksanaan projek tersebut, rupanya memicu protes keras dari warga keturunan Tionghoa yang tergabung dalam sejumlah lembaga. Sebut saja MPTC (Masyarakat Peduli Tionghoa Cirebon), PSMTI (Paguyuban Sosial Masyarakat tionghoa Indonesia) dan MAKIN (Majelis Agama Kong Hu Cu).

Aksi protes terkait dengan pemasangan tenda yang terdapat persis di depan pagar kompleks makam Sam Tjay Kong. Makam tersebut, ternyata merupakan cagar budaya yang sangat dihormati oleh masyarakat Tionghoa, tidak saja di Kota Cirebon, tetapi juga di Jabar dan Indonesia.

Pekuburan berusia lebih dari 300 tahun itu merupakan makam keramat dan memiliki nilai historis tinggi. Apalagi, sosok yang dikuburkan di pusara seluas 50 x 50 meter itu, ternyata salah seorang tokoh yang memegang peranan strategis pada masa awal-awal Kesultanan Cirebon.

Polemik pun terjadi terkait dengan pemasangan tenda yang menurut Jeremy Huang, Ketua MPTC dan PSMTI Cirebon, merupakan bentuk kesewenang-wenangan pemkot karena terkesan tidak peduli dengan keberadaan makam sebagai bagian dari cagar budaya Kota Cirebon.

Sikap warga Tionghoa itu juga memperoleh dukungan kalangan sejarawan Kota Cirebon. Di antaranya H.R. Sutadji, K.S, sejarawan yang meminta agar tenda yang telah terpasang dibongkar demi menjaga kelestarian kuburan Sam Tjay Kong.

Seiring terjadinya polemik, masyarakat Cirebon pun kemudian bertanya-tanya, siapakah Sam Tjay Kong. Sosok yang makamnya ternyata menuai protes keras warga Tionghoa ketika di depan pagarnya dipasangi tenda permanen untuk para PKL.

Memang tidak banyak literatur sejarah dalam konteks masa-masa awal berdirinya Caruban Nagari, sebagai kerajaan Islam (Kesultanan Cirebon) yang mengungkapkan sosok Sam Tjay Kong. Kendati demikian, Sam Tjay Kong diakui resmi oleh Keraton Pasepuhan Cirebon, sebagai salah satu pembesar keraton yang memiliki jasa besar bagi Kesultanan Cirebon.

Meski jasanya sangat besar, namun namanya redup justru akibat sikapnya di akhir masa-masa hidupnya. Sam Tjay Kong oleh kalangan muslim (termasuk Cina Muslim di Cirebon), disebutnya sebagai 'murtad', dikarenakan di akhir-akhir hidupnya, dia memilih pindah ke agama Kong Hu Cu.

Walau telah berpindah ke Kong Hu Cu, ketika Sam Tjay Kong meninggal dunia yang menurut prasasti kuburnya tercatat hari Senin, tanggal 24 tahun Jawa 1739 atau sekira tahun masehi 1660 (dikurangi 79 tahun-Red.), Keraton Kasepuhan tetap memberi penghargaan. Hanya saja karena saat meninggal dunia berstatus agama Kong Hu Cu, maka makamnya pun dipisahkan dengan kompleks makam Cina muslim yang berada di Gunung Sembung, depan kompleks makam Sunan Gunung Djati.

Menteri Keuangan handal

Sam Tjay Kong semasa hidupnya dikenal sebagai administrator unggul. Dialah yang memegang dan mengatur arus keuangan Keraton Kasepuhan, dia dikenal sebagai bendahara atau "menteri Keuangan' yang andal. Berkat kepiawaiannya, Keraton Kasepuhan bisa berkembang dan sehat dari sisi keuangan sehingga syiar Islam di tanah Jawa (Jabar-Red.) bisa berjalan lancar.

Meski sekilas, nama Sam Tjay Kong sempat tercatat dalam dua risalah sejarah Cina di Indonesia pada masa Kesultanan Cirebon (Caruban Nagari). Pertama adalah buku "Chinese Epigraph Material in Indonesia" (Cagar Budaya Cina di Indonesia) dengan penulis Salmon Claudine, kemudian buku "Cina Muslim di Jawa abad XV dan XVI" yang ditulis H.J. de Graff.

Dalam bukunya, de Graff menemukan sosok Sam Tjay Kong pada catatan tahunan Melayu oleh Tom Pires (pengelana bangsa Portugal). Dalam catatan Melayu, Sam Tjay Kong aslinya bernama Tan Sam Cai dengan nama muslim Muhammad Syafi'i.

Dia menjadi Menteri Keuangan Keraton Kasepuhan Cirebon sepeninggal Sunan Gunung Djati. Disebut-sebut, Sam Tjay Kong alias Tan Sam Cai alias Muhammad Syafi'i, menjadi bendahara cakap dan terpercaya pada masa transisi ketika Kesultanan Cirebon di bawah Panembahan Ratu, pengganti sementara Sunan Gunung Djati yang telah wafat.

Dalam catatan Melayu Tom Pires, disebutkan Sam Tjay Kong mengakhiri hidupnya dengan tragis. Dia meninggal dunia di salah satu gua di kompleks pertapaan Gua Sunyaragi yang dibangunnya sendiri, dia meninggal dunia bersama seorang "harim" (istri simpanan).

Saat itu, statusnya sudah berpindah agama dari Islam ke Kong Hu Cu. Perpindahan agama Sam Tjay Kong tidak dijelaskan secara gamblang dalam sejarah. Hanya menurut Jeremy Huang, Sam Tjay Kong atau Muhammad Syafi'i mengalami goncangan psikologis sepeninggal Sunan Gunung Djati, sehingga memutuskan pindah ke Kong Hu Cu.

Tetap dihormati

Jasad Sam Tjay Kong ditolak mentah-mentah saat akan dikuburkan di pemakaman Cina muslim di Gunung Sembung. Penolakan itu dilakukan oleh seorang petinggi Keraton Kasepuhan lainnya yang juga keturunan tionghoa, bernama Kung Sun Pak, sebagai juru kunci makam Gunung Sembung (Kung Sun Pak adalah cucu Kung Wung Ying, wakil Laksamana Cheng Ho yang ditugaskan mendarat di Caruban Nagari untuk membantu perkembangan Islam di Kesultanan Cirebon).

Meski demikian, pemakaman jasad Sam Tjay Kong alias Tan Sam Cai alias Muhammad Syafi'i menggunakan upacara resmi kenegaraan. Apalagi Keraton Kasepuhan Cirebon (Kesultanan Cirebon) memberi gelar kebesaran terhadap Sam Tjay Kong dengan sebutan Tumenggung Aria Wira Tjoela, berkat jasa besarnya sebagai menteri keuangan.

"Gelar Aria itu merupakan gelar yang tinggi. Ini hanya bisa diberikan kepada seseorang yang memiliki jasa luar biasa bagi Keraton Cirebon. Sam Tjay Kong memperoleh gelar tertinggi yang hanya setingkat di bawah Rakean. Rakean itu gelar turun-temurun keturunan raja atau sultan," tutur sejarawan, Sutadji.

Sosok Sam Tjay Kong juga disinggung secara sekilas dalam buku sejarah "Cagar Budaya Cina di Indonesia" dengan penulis Salmon Claudine. Di buku itu, disebut-sebut bahwa Sam Tjay Kong merupakan arsitek kompleks pertapaan raja atau yang dikenal dengan Gua Sunyaragi.

Mengutip Bong Pay (nisan kubur) Sam Tjay Kong, buku itu mengemukakan, Sam Tjay Kong memiliki nama kecil Chen San Cai, kemudian berubah menjadi Tam Sam Tjay. Setelah menjabat sebagai bendahara keraton memperoleh gelar Tumenggung Aria Wira Tjoela dan memiliki nama muslim Muhammad Syafi'i.

Berasal dari daerah Chen Lan She yang masih merupakan wilayah Ds. Lang Xi, Kab. Zhy Zhou, Fu Jian, Cina Selatan. Mendarat ke Cirebon ikut rombongan Putri Ong Tin Nio, anak raja Hong Gi yang setelah menikah dengan Sunan Gunung Djati (Syarif Hidayat) di Keraton Prabu Luragung (Jagakarsa, Adipati Kuningan) pada tahun 1481 masehi, bergelar Ratu Sumanding dan menetap di Pesanggrahan Gunung Sembung.

Mengenai keberadaan Sam Tjay Kong sebagai pengawal Putri Ong Tien Nio ini masih kontroversial. Sejarawan Sutadji bahkan meragukan fakta itu, sebab dalam catatan sejarahnya, Putri Ong Tien Nio mendarat di Pelabuhan Muara Jati dikawal oleh dua orang, yakni pengawal Lie Guan Chang dan nakhkoda Lie Gun Hien. "Saya tidak menemukan nama Sam Tjay Kong atau Tan Sam Tjay sebagai pengawal Putri Ong Tien Nio saat mau dikawinkan dengan Syarif Hidayat. Namun, kalau ada catatan sejarah dengan sumber valid menyatakan Sam Tjay Kong sebagai pengawal, itu bisa saja. Mengingat banyak fakta sejarah yang belum terungkap," tutur dia.

Meski dinilai sosok kontroversial, namun nama Sam Tjay Kong tetap dihormati sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah Kesultanan Cirebon. Bahkan sebagai bukti penghormatan itu, kompleks makamnya yang terdiri dari 1 makam utama dan 4 makam kerabat, dihiasi bangunan dengan dua gaya arsitektur, yakni Islam dan Cina (Kong Hu Cu). "Sam Tjay Kong sangat dihormati warga tionghoa beragama Kong Hu Cu. Ia juga yang membangun Klenteng di daerah Talang, Kota Cirebon," tutur Jeremy.

Sebagai penghormatan, di tahun 1919 masehi, makam Sam Tjay Kong dipagar keliling oleh Mayor Tan Chi Ji, pemimpin pecinan di Kota Cirebon. Pagar itu dilengkapi prasasti bertuliskan huruf kanji Cina, melayu, dan Jawa.

Makam Sam Tjay Kong juga pernah mashur dan dikenal luas oleh masyarakat di tahun 60 sampai 70-an. Di kompleks makam itu, dulu menjadi salah satu pusat keramaian kota Cirebon tempo dulu dimana banyak pedagang termasuk juga tukang ramal yang memanfaatkan para peziarah ke makam keramat itu, juga bagi sebagian warga digunakan untuk memperoleh wangsit agar dapat petunjuk mendapat rezeki dari kode buntut. "Tahun 70-an, di depan makam bahkan menjadi terminal sado atau dokar. Ratusan peziarah datang dari berbagai daerah, tak hanya warga tionghoa," ujar Jeremy.

Memasuki tahun 80-an, kemashyuran makam itu pudar. Yang semula ramai menjadi sepi hingga tumbuhlah ilalang dan tidak terawat, bahkan sering digunakan untuk maksiat seperti prostitusi, perjudian sampai pesta minuman keras para berandal.

Setelah reformasi, makam itu kembali terawat. Masyarakat tionghoa yang semula acuh tak acuh, mulai ikut peduli, juga dari sebuah parpol yang sempat mengerahkan masa untuk membersihkan kompleks makam.

Makam ini semula sepertinya hilang ditelan zaman. Belakangan dengan dibangunnya tenda di depan pagarnya oleh developer yang mengerjakan projek penataan PKL, nama Sam Tjay Kong, Tan Sam Tjay, Tumenggung Aria Wira Tjoela dan Muhammad Syafi'i pun kembali muncul menjadi polemik.(Agung Nugroho/"PR")***

BUDAYA TIONGHOA BAGIAN DARI BUDAYA NUSANTARA

Dalam salah satu ajaran Islam terdapat hadist Nabi yang menyebutkan “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”. Pertanyaannya, kenapa yang disebut Cina,bukan negara-negara Eropa atau lainnya? Padahal menurut Prof Dr Ahmad Baiquni, negeri Cina ketika itu belum Islam. Lalu apa yang harus dipelajari di Cina? Jelas bukan soal agama, melainkan karena kebudayaan dan peradabannya yang tinggi. Masih menurut Prof Dr Ahmad Baiquni, sudah sejak 3000 tahun (30 abad) sebelum kelahiran Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa Cina sudah demikian maju sehingga dikenal sampai ke Timur Tengah khususnya Arab. Mereka sudah menguasai ilmu astronomi bahkan mempunyai tempat-tempat observasi, mampu membuat ramuan untuk mengawetkan mayat sampai membuat obat bahan peledak.

Karena menguasai ilmu astronomi itu dengan mudah orang Cina bisa mengembara sampai ke Timur Tengah.Mereka membuka hubungan dagang sejak Islam mulai berkembang di Timur Tengah sekitar abad ke 7. Mereka memperkenalkan teknologi pembuatan kertas dan tinta serta ilmu cetak, dan ternyata hal ini menarik perhatian orang Arab. Bangsa Arab menyambut baik kedatangan bangsa Cina beserta ilmu-ilmu yang dibawanya, khususnya ilmu cetak. Hal ini disebabkan, saat itu bangsa Arab sangat membutuhkan teknologi pembuatan kertas, tinta, dan ilmu cetak untuk menyatukan tulisan-tulisan Arab yang ditulis pada pelepah kurma, kulit sapi, dan kulit pohon, yang tentu saja media menulis tersebut sangat mudah rusak, sukar dibaca, dan sukar didapat.

Dengan “oleh-oleh” dari bangsa Cina itu pulalah, bangsa Arab kemudian mendapatkan kemudahan untuk menyatukan ayat-ayat Suci Al Qur’an yang diturunkan Allah yang semula juga dicatat bertebaran di pelepah kurma, kulit unta dan lain-lain.. Sebaliknya orang-orang Cina kembali ke negerinya dengan membawa “oleh-oleh” ajaran Islam. Ajaran Islam tersebut kemudian disebarluaskan pada masyarakat Cina yang sudah ditulis di atas kertas dengan tinta serta dicetak dalam jumlah yang banyak. Dapat disimpulkan bahwa bangsa Cina termasuk yang telah mempelopori penyebaran ajaran Islam keluar dari wilayah Timur Tengah dan menyebarkannya ke wilayah Asia lainnya, termasuk nantinya ke wilayah Indonesia yang ada di selatan Cina.

Mulailah orang-orang Cina berdatangan ke Indonesia bukan hanya berdagang, namun seperti ketika mereka ke Arab, orang-orang Cina yang datang ke Indonesia juga membawa “oleh-oleh” kebudayaan mereka, teknologi pembuatan kertas dan tinta serta ilmu cetak- mencetak ditambah ajaran Islam yang baru mereka peroleh dari Arab. Oleh karena itu pada abad ke 7, ajaran Islam mulai dikenal di Nusantara, khususnya di Jawadwipa (kini Jawa), mereka mendarat di Pantai Banten dan menyebarkan Islam di sana. Selain mendarat di Banten, mereka juga ada yang mendarat di Caruban (kini dikenal dengan nama Cirebon) melalui pelabuhan Muharajati yang semula merupakan pelabuhan pusat perdagangan Kerajaan Padjajaran dan Pakuan. Saat kedatangan orang-orang Cina di Bogor, Kerajaan Tarumanegara sudah berdiri dan mereka menyebutnya To-lo-mo (Ta-ru-ma menurut lidah mereka). Di Jawa Tengah mereka mendarat di Semarang dan menyebarkan Islam ke Glagahwangi yang di kemudian hari dikenal sebagai Kerajaan Demak yang dipimpin oleh Pangeran Patah (lebih dikenal Raden Patah). Di daerah ini pula dikenal adanya seorang sultan yang ketika wafat dimakamkan di Gunung Muria sehingga dikenal sebagai Sunan Muria. Di Jawa Timur mereka mendarat di Tuban dan Surabaya. Salah satu dari mereka kemudian menjadi Wali, yang dikenal dengan sebutan Sunan Ampel. Putra dari Sunan Ampel pun menjadi Wali, yaitu Sunan Bonang. Sunan Ampel dan Sunan Bonang lebih dikenal dengan nama pribumi. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah masuknya ajaran Islam di masyarakat Jawa. Di Gresik terdapat makam Sunan Malik Ibrahim atau Maulana Maghribi.

Sebagaimana sudah disebutkan, kedatangan mereka di Pantai Utara Jawa itu di samping menyebarkan ajaran Islam juga budaya Cina. Oleh karena itu di Sunda Kelapa (Pelabuhan kerajaan Padjajaran juga) budaya mereka berbaur dengan kebudayaan penduduk asli yng kemudian menyebut diri mereka sebagai suku Betawi dan hingga kini, kita mengenal kesenian cokek, lenong, dan lain-lain yang merupakan akulturasi budaya Cina dan Betawi, yang kini kemudian diklaim sebagai kesenian Betawi. Musik Tanjidor yang merupakan musik khas Betawi pun beberapa alat musiknya menggunakan alat musik khas Cina, seperti rebab, dan lain-lain. Perhatikan pakaian pengantin Betawi, yang mirip pakaian pengantin di zaman dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina pada abad ke 7. Selain itu bahasa Indonesia pun banyak yang berasal dari serapan bahasa Cina, misalnya becak (Bhe-chia), kue (koe), dan teh (tee).

Selain itu makanan-makanan kegemaran sebagian masyarakat Indonesia pun banyak yang berasal dari bahasa Cina, seperti bakmie, bakpao, bakso, bakpya, bakwan dan lain-lain, dan tentunya masyarakat kita tidak lagi mempermasalahkan atau memikirkan dari mana asal makanan yang enak tersebut. Hal ini disebabkan sudah akrabnya makanan-makanan tersebut di kalangan masyarakat Indonesia Tentu saja di samping makanan juga minuman,seperti misalnya daun teh, di mana tanaman ini dikenal berasal dari Cina Selatan. Budaya Betawi dan budaya suku-suku lainnya di Indonesia seperti budaya Sunda, budaya Jawa, adalah sebagian dari akar budaya Indonesia. Jadi budaya Cina yang berakulturasi dengan budaya suku-suku di Indonesia juga merupakan budaya Indonesia.

Di Jawa Tengah (dekat Semarang) mereka mendirikan Klenteng Sam Po-Kong. Di klenteng inilah ditemukan catatan sejarah tentang masuknya Cina ke Jawa, serta uraian bahwa para wali dan tokoh-tokoh pahlawan pun sebagian adalah orang keturunan Cina, misalnya Adipati Unus, Panembahan Jim Bun, Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan lain-lain. Prof. Dr. Slamet Muliana telah meneliti dan menghimpun sejarah masuknya Cina ke Jawa yang dibawa para pedagang Cina itu dan dibukukan. Bahkan di dekat Jepara mereka memugar Kerajaan Holing yang dikalangan masyarakat Jawa lebih dikenal dengan nama Keling atau Kalingga. Nama lain dari Holing adalah Chepo (Jawa). Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja putri yang bernama Ratu Shima. Ratu Shima adalah seorang ratu keturunan Cina. Di sekitar Semarang kemudian berdiri kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak, Pajang, dan di kawasan inipun terdapat makam Sunan Demak, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Giri, dan lain-lain.

Pendatang Cina dan kebudayaannya berkembang pesat di Nusantara. Kini mereka menjadi suku tersendiri yang disebut Suku Tionghoa. Sesungguhnya suku ini sama kedudukannya dengan Suku Jawa, Suku Sunda, Suku Madura, dan lain-lain karena suku ini sama-sama beranak cucu dan sudah menghuni bumi Nusantara setidaknya sejak abad ke 7. Sehingga mereka sebenarnya sama-sama sebagai warga negara Indonesia. Disahkannya UU RI No.12 tahun 2006 (yang menggantikan UU No. 62 tahun 1958) serta dihapusnya kewajiban orang Tionghoa di Indonesia untuk memiliki SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) melalui keputusan presiden No. 56 tahun 1996. memperkuat kedudukan suku Tionghoa di Indonesia sebagai bagian yang tak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Seperti semboyan negara kita “Bhinneka Tunggal Ika” berbeda-beda namun tetap satu. Maka suku-suku di Indonesia tak terkecuali suku Tionghoa merupakan suku yang telah banyak memperkaya kebudayaan Nusantara.

Sumber : Seruni Ambarkasih Mahasiswi Fak. Ilmu Budaya Universitas Indonesia